MASALAH
TAQLID DAN DOA IFTITAH DALAM SHALAT
Ditulis oleh aby Nala Latifah Khalid
1.
Tentang Taqlid
a.
Pengertian Taqlid
Kata “Taqlid” adalah kata dalam bahasa Arab, yang berasal dari kata تَقْلِيْدٌ
(taqlid), yaitu: قَلَّدَ (qallada), يُقَلِّْدُ
(yuqallidu), تَقْلِيْدًا (taqliidan).
Artinya bermacam-macam tergantung kepada letak dan pemakaiannya dalam kalimat.
Adakalanya kata “taqlid” berarti “menghiasi”, “meniru”, “menyerahkan”,
“mengikuti” dan sebagainya.
Para ulama Ushul mendefinisikan taqlid: “menerima perkataan (pendapat)
orang, padahal engkau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan
(pendapat) itu”. Para ulama yang lain seperti al-Ghazali, asy-Syaukani,
ash-Shan‘ani dan ulama yang lain juga membuat definisi taqlid, namun isi dan
maksudnya sama dengan definisi yang dibuat oleh ulama Ushul, sekalipun
kalimatnya berbeda. Demikian pula dengan definisi yang dibuat oleh Muhammad
Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar, yaitu: “mengikuti pendapat orang-orang
yang dianggap terhormat atau orang yang dipercayai tentang suatu hukum agama
Islam tanpa meneliti lebih dahulu benar salahnya, baik buruknya serta manfaat
atau mudlarat dari hukum itu”.
Dalam menjalani dan menempuh kehidupan dunia ini Allah Swt memberikan
petunjuk kepada manusia yang termuat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
Orang yang mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang
beriman, sedang orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah
orang-orang yang kafir. Allah Swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُولَ وَلاَ تُبْطِلُوْا أَعْمَالَكُمْ. [محمد
(47): 33].
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta'atlah kepada Allah dan
ta'atlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” [Muhammad
(47): 33].
قُلْ أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُولَ
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِيْنَ. [آل عمران (3): 32].
Artinya: “Katakanlah: Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” [Ali
'Imran (3): 32].
وَأَطِيْعُوْا اللهَ وَرَسُولَهُ إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. [الأنفال (8): 1].
Artinya: “… dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah
orang-orang yang beriman.” [al-Anfal (8): 1].
Taat kepada Allah ialah mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya yang termuat
dalam al-Qur’an dan taat kepada Rasul-Nya ialah mengikuti petunjuk Nabi
Muhammad saw, berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya yang diyakini berasal
dari beliau, yang disebut “Sunnah Maqbulah”. Kenapa Majelis Tarjih dan
Tajdid menggunakan “sunnah maqbulah”?
Sebagaimana diketahui bahwa perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi
Muhammad saw (as-Sunnah), baru ditulis dan dibukukan setelah lebih dari seratus
tahun beliau meninggal dunia. Selama seratus tahun lebih itu as-Sunnah berada
dalam hafalan kaum muslimin yaitu para sahabat, tabi‘in, tabi‘it tabi‘in dan atba‘
at-tabi‘it tabi‘in. As-Sunnah yang dihafal oleh sahabat disampaikan kepada
tabi‘in dan mereka menghafalnya, demikian pula para tabi‘in menyampaikan kepada
tabi‘it tabi‘in, kemudian kepada atba‘ at-tabi‘it tabi‘in dan yang terakhir
diterima oleh para perawi hadits dan membukukannya. Para perawi itu sebelum
membukukannya meneliti setiap para penyampai dan penerima as-Sunnah itu.
Setelah diteliti ternyata ada para penyampai dan penerima as-Sunnah itu yang
dapat dipercaya dan ada yang tidak dapat dipercaya, ada yang kuat atau baik
hafalannya dan ada pula yang lemah dan sebagainya. Lalu para perawi membuat
ranking as-Sunnah, sehingga as-Sunnah itu bertingkat-tingkat, ada yang shahih,
ada yang hasan, ada yang dla‘if dan sebagainya. Pada umumnya para ulama tidak
menerima sunnah yang dla‘if (lemah), kecuali asy-Syafi‘i yang menggunakannya
untuk fadla’ilul a‘mal (amalan-amalan utama). Majelis Tarjih dan Tajdid
pada umumnya menerima as-Sunnah yang shahih dan hasan dengan syarat tidak
berlawanan dengan nash (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang lebih kuat daripadanya.
As-Sunnah yang seperti ini disebut “sunnah maqbulah”.
Berdasarkan uraian di atas maka taqlid menurut Majelis Tarjih dan
Tajdid ialah: “mengikuti perkataan atau pendapat orang (seperti ulama, syekh,
kiyai atau pemimpin) tentang suatu hukum Islam tanpa meneliti lebih dahulu
apakah perkataan atau pendapat itu ada dasarnya atau tidak dalam al-Qur’an dan
sunnah maqbulah”. Jika ada dasarnya maka perkataan dan pendapat itu dapat
diterima dan diamalkan, sebaliknya jika tidak ada dasarnya, sedang yang
mengatakan atau yang berpendapat tetap mengatakan bahwa itu adalah ajaran Islam,
maka pendapat yang demikian termasuk bid‘ah. Orang yang berbuat bid‘ah adalah
orang yang telah menyediakan semasa ia hidup tempat duduk dalam neraka nanti.
Hal ini berdasarkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. [رواه البخاري ومسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw beliau
bersabda: Barangsiapa yang berdusta atasku, maka hendaklah ia menyediakan
tempat duduknya dalam neraka.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Pada saat ini banyak terdapat di Indonesia perguruan Tinggi Islam, baik
pemerintah maupun swasta, seperti UIN, STAIN dan sebagainya, sehingga tidaklah
sukar untuk menentukan apakah pendapat seseorang itu ada dasarnya atau tidak
ada dasarnya, dengan mengadakan pembahasan mendalam pada suatu seminar atau
diskusi. Dengan demikian taqlid dan bid‘ah itu semakin berkurang terdapat dalam
nasyarakat Islam. Demikian pula para ustadz, para kiyai, para da‘i hendaknya
menyampaikan kepada masyarakat yang berhubungan dengan ajaran Islam, yang
benar-benar ada dasarnya.
b.
Hukum Taqlid
Dari ayat al-Qur’an dan Sunnah Maqbulah di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa taqlid itu tercela hukumnya. Bagi orang yang belum tahu
apa-apa tentang ajaran Islam, dan kaum muslimin yang belum sanggup mencari
dasar suatu hukum yang disampaikan kepadanya, maka hal itu bukanlah taqlid, dan
hendaklah ia menanyakan kepada orang yang lebih tahu.
Tentang hukum membaca doa Iftitah
Sampai saat ini belum kita tenemukan
ayat al-Qur’an atau Sunnah Maqbulah yang menyatakan bahwa orang yang terus
membaca “Allahumma baa‘id …” dalam selama hidupnya dianggap telah
melakukan bid’ah. Karena itu mungkin sebaliknya bahwa orang yang mengatakan
demikianlah yang telah berbuat bid’ah. Menurut hasil penelitian kami bahwa ada
dua macam doa iftitah yang diajarkan Rasulullah saw yang dibaca setelah takbiratul
ihram pada setiap mengerjakan shalat, dengan arti bahwa salah satu dari dua
doa iftitah itu boleh dibaca dalam shalat.
Kedua doa itu ialah “Allahumma
baa‘id …” dan “Wajjahtu wajhiya …”.
Doa iftitah “Allahumma baa‘id …” berdasarkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ كَانَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَبَّرَ فِي الصَّلاَةِ سَكَتَ
هُنَيْمَةً قَبْلَ يَقْرَأُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى
أَرَأَيْتَ سُكُوْتَكَ بَيْنَ التَّكْبِيْرِ وَالقِرَاءَةِ مَا تَقُوْلُ قَالَ
أَقُوْلُ اللَهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ
المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ اللَهُمَّ نَقِّنِى مِنَ اْلخَطَايَا كَمَا يُنَقِّى
الثَّوبُ الاَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِالمَاءِ
وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ. [رواه البخارى ومسلم وأصحاب السنن إلا الترمذى].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, adalah Rasulullah saw
setelah mengucapkan takbiratul ihram dalam shalat diam sebentar sebelum membaca
al-Fatihah. Lalu aku bertanya: Ya Rasulullah, Demi bapakku, engkau dan ibuku,
apa yang engkau baca ketika engkau diam antara takbiratul ihram dan membaca
al-Fatihah? Rasulullah saw menjawab: Aku membaca:
اللَهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ
خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ اللَهُمَّ نَقِّنِى
مِنَ اْلخَطَايَا كَمَا يُنَقِّى الثَّوبُ الاَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَهُمَّ
اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ.
Artinya: Ya
Allah, jauhkanlah antaraku dan antara segala kesalahanku sebagaimana Kau telah jauhkan
antara Timur dan Barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan sebagaimana
dibersihkannya pakaian putih dari kotoran. Ya Allah, cucilah segala kesalahanku
dengan air, salju dan air hujan beku.” [HR. al-Bukhari, Muslim dan penyusun
Kitab-kitab Sunan kecuali at-Tirmudzi].
Doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …” berdasarkan:
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ كَبَّرَ ثُمَّ
قَالَ وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَ الاَرْضَ حَنِيفًا
مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ المُشْرَكِيْن اِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ
وَمَمَاتِى ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَالِكَ اُمِرْتُ
وَاَنَا مِنَ المُسْلِمِيْنَ اللَهُمَّ اَنْتَ المَلِكُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ
اَنْتَ رَبِّى وَاَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى
فَاغْفِرْلِى ذُنُوبِى جَمِيْعًا لاَيَغْفِرُ الذَُنُوبَ اِلاَّ اَنْتَ وَاهْدِنِى
لِاَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ لاَيَهْدِى لِاَحْسَنِهَا اِلاَّ اَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى
سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا اِلاَّ اَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيكَ
وَالخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ اِلَيْكَ اَنَا بِكَ وَاِلَيكَ
تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَاَتَوبُ اِلَيكَ. [رواه أحمد ومسلم
والترمذى وأبو داود وغيرهم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: Rasulullah saw apabila
berdiri untuk shalat lalu bertakbiratul ihram, kemudian mengucapkan:
وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ
السَّمَوَاتِ وَ الاَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ المُشْرَكِيْن
اِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ
لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَالِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ المُسْلِمِيْنَ اللَهُمَّ
اَنْتَ المَلِكُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ اَنْتَ رَبِّى وَاَنَا عَبْدُكَ
ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْلِى ذُنُوبِى جَمِيْعًا
لاَيَغْفِرُ الذَُنُوبَ اِلاَّ اَنْتَ وَاهْدِنِى لِاَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ
لاَيَهْدِى لِاَحْسَنِهَا اِلاَّ اَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفْ
عَنِّى سَيِّئَهَا اِلاَّ اَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيكَ وَالخَيْرُ كُلُّهُ فِى
يَدَيكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ اِلَيْكَ اَنَا بِكَ وَاِلَيكَ تَبَارَكْتَ
وَتَعَالَيْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَاَتَوبُ اِلَيكَ.
Artinya: Aku
hadapkan wajahku kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan tunduk dan
menyerahkan diri dan tiadalah aku termasuk golongan orang-orang musyrik.
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku untuk Tuhan semesta alam.
Tidak ada sekutu bagi-Nya dan sebab demikian itu aku diperintah dan aku
termasuk orang-orang yang menyerahkan diri (kepada-Nya). Wahai Allah, hanya
Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, hanya Engkau Tuhanku sedang aku
adalah hamba-Mu, aku telah menganiaya diriku sendiri dan aku akui dosa-dosaku,
karena itu ampunilah seluruh dosaku, sesungguhnya hanya Engkau sajalah yang
mengampuni dosa, bimbinglah aku kepada akhlaq yang baik, hanya Engkaulah yang
dapat membimbingku kepada akhlaq yang baik, jauhkanlah aku dari akhlaq yang
buruk dan hanya Engkaulah yang dapat menjauhkan aku dari akhlaq yang buruk itu.
Aku penuhi panggilan-Mu dan aku gembira dengan memenuhi perintah-Mu, semua
kebaikan berada dalam kekuasaan-Mu, sedangkan kejahatan itu tidak dapat
(mendekatkan diri) kepada Engkau, aku hanya dapat hidup dengan-Mu dan hanya
akan kembali kepada-Mu. Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi, aku mohon ampun
kepada Engkau dan aku mohon taubat kepada Engkau” [HR. Ahmad, Muslim, at-Tirmudzi,
Abu Dawud dan lain-lain].
Sekalipun kedua doa iftitah itu boleh dibaca salah satunya dalam
shalat, namun ada yang perlu direnungkan dan dipertimbangkan dalam
mengamalkannya, yaitu:
a.
Dasar dari kedua doa iftitah itu
adalah Sunnah Maqbulah, karenanya Majelis Tarjih dan Tajdid memberikan
kewenangan kepada kaum muslimin untuk memilih doa mana yang akan mereka baca,
atau mereka boleh membaca keduanya secara bergantian.
b.
Doa iftitah “Allahumma baa‘id
…” lebih pendek dibanding doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …”. Doa iftitah
“Allahumma baa‘id …” dimulai dengan kalimat “Allahumma baa‘id ”
dan diakhiri dengan “bil-ma'i wats-tsalji wal-barad”, sedang doa iftitah
“Wajjahtu wajhiya …” dimulai dengan kalimat “Wajjahtu wajhiya”
dan diakhiri dengan kalimat “astaghfiruka wa atuubu ilaik”.
c.
Jika ingin mengikuti sunnah
Rasulullah saw, tentu kita harus membaca doa iftitah itu secara lengkap, tidak
setengah-setengah.tidak pula digabung-gabungkan Seperti Kabira dengan Wajjahtu
d.
Sekalipun kedua doa iftitah itu
berdasarkan Sunnah Maqbulah, jika ditinjau dari segi perawi, maka doa iftitah “Allahumma
baa‘id …” lebih kuat daripada doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …”,
karena doa iftitah “Allahumma baa‘id …” diriwayatkan oleh al-Bukhari,
Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah, sedangkan doa iftitah “Wajjahtu
wajhiya …” diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, at-Tirmudzi, Abu Dawud dan yang
lain.Termasuk "Allahu akbar Kabira"
.
Nabi Membaca doa
iftitah tekadang
- Terkadang Membaca Allahumma baid
- Terkadang Allahu Akbar Kabira
- Terkadng Membaca Wajjahtu
( untuk Lebih lengkap bisa
kita baca Fiqh sunnah jilid 1 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar